Diseputar Kita News -- Pare Pare -- Jurnalis dan media perlu diperkuat dengan perspektif anak, gender, disabilitas dan inklusi sosial agar peliputan dan pemberitaannya tidak bias," terang M Ghufran H Kordi K, Program dan Publikasi Officer Program Inklusi.
Ghufran menyampaikan hal itu di hadapan belasan jurnalis Kota Parepare yang mengikuti Penguatan Forum Media dan Jurnalis. Kegiatan yang digelar atas kerjasama Program INKLUSI-BaKTI dengan YLP2EM ini, diadakan di Kafe Bukit Amaish, Kota Parepare, selama dua hari, Rabu-Kamis, tanggal 8-9 November 2023.
Ghufran yang lebih 20 tahun berkecimpung sebagai aktivis Ornop itu, memberikan materi tentang Liputan dan Pemberitaan Inklusif. Sebagai penulis yang banyak melakukan kajian dan penelitian, dia berbagi pengalaman praktis terkait istilah-istilah yang dinilai bias dan merendahkan, baik anak, perempuan maupun disabilitas.
Dia mencontohkan, penggunaan istilah dan diksi yang kurang tepat, bukan saja bisa menimbulkan stigma dan pelabelan. Namun, juga tidak memberikan edukasi dan pembelajaran. Berita-berita seperti ini juga tidak akan memberikan masukan untuk perubahan dan perbaikan kebijakan.
Istilah "anak nakal" terhadap anak-anak yang butuh perhatian orang tua dan dukungan sosial, istilah "janda" untuk ibu yang jadi orang tua tunggal, dan frasa "orang cacat" bagi orang yang punya kebutuhan khusus dan berbeda, merupakan beberapa contoh yang dia tampilkan. Contoh lain, sebutan "suku terasing" untuk masyarakat adat, dan "orang kafir" untuk penganut agama lokal, merupakan istilah-istilah yang mendiskriminasi. Mestinya, istilah dan diksi-diksi serupa itu tidak lagi digunakan dalam pemberitaan dan media massa kita.
Ghufran lantas menyarankan jurnalis mengutip pasal-pasal konvensi internasional dan regulasi nasional yang relevan untuk mengedukasi masyarakat, terutama penentu kebijakan. Dia juga merekomendasikan penggunaan istilah yang dianggap ramah anak, ramah perempuan, dan ramah disabilitas. Misalnya, istilah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), perempuan kepala rumah tangga, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), dan orang yang pernah menderita kusta (OYPMK).
Rusdin Tompo, sebagai fasilitator mendorong peserta mengembangkan jurnalisme advokasi. Dia kemudian mencontohkan jurnalisme advokasi yang dilakukan oleh RM Tirto Adhi Soerjo lewat Medan Prijaji. Koran yang terbit di Bandung, sejak tahun 1907 ini, dianggap sebagai pelopor jurnalisme advokasi di Indonesia.
Mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan, yang pernah jadi jurnalis radio itu, juga berbagi cerita sukses tentang penerapan jurnalisme advokasi yang ikut berkontribusi dalam lahirnya kebijakan akta kelahiran gratis di Tanah Air.
"Tadinya penentu kebijakan kurang memperhatikan pencatatan kelahiran ini sebagai hak anak. Lalu dilakukan advokasi dengan membangun kesadaran bahwa pencatatan kelahiran merupakan pengakuan legal pertama negara terhadap anak. Belum lagi manfaatnya bagi statistik vital guna perencanaan pembangunan," kisah Rusdin Tompo.
Problemnya, saat itu, urusan akta kelahiran masih jadi target PAD dan dasar hukumnya juga masih merujuk pada staatsblad yang merupakan produk hukum kolonial. Belum lagi faktor tradisi yang jadi kendala, serta penyebab lainnya. Berbagai kampanye, kolabirasi, aksi dan diskusi dilakukan hingga lahirlah regulasi yang memungkinkan anak-anak dicatatkan dan mendapatkan akta kelahirannya secara gratis.
"Harus diakui, peran media massa sangat besar dalam advokasi kebijakan publik terkait akta kelahiran," aku Rusdin Tompo yang jadi pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, pada periode awal.
Salman Razak, salah seorang peserta dari Parepos, menyampaikan bahwa saat ini teman-teman jurnalis di Kota Bandar Madani itu tengah mengawal Ranperda Kota Parepare tentang Disabilitas dan pembentukan UPT Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Ibrahim Fattah, Direktur YLP2EM, mengatakan narasumber dan fasilitator yang hadir merupakan aktivis dan jurnalis yang berpengalaman. Setelah kegiatan ini dilanjutkan dengan monitoring pemberitaan dan diskusi tematik terkait isu anak, perempuan, disabilitas dan kelompok rentang/marginal.
Sementara Abd Samad Syam, Koordinator Program INKLUSI Parepare, menyampaikan bahwa program ini diadakan di beberapa tempat. Selain Parepare, juga diadakan di Maros dan Tana Toraja (Sulawesi Selatan). Juga di Kendari (Sulawesi Tenggara), Lombok Timur (NTB), Kupang (NTT), dan Ambon (Maluku).
Program Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI) merupakan program yang diupayakan untuk berkontribusi pada tujuan pembangunan yang lebih luas. Yakni, tidak ada satupun yang tertinggal dalam pembangunan, lebih banyak kelompok marginal yang berpartisipasi, dan mendapat manfaat dari pembangunan yang ada, baik bidang sosial budaya, ekonomi, maupun politik di Indonesia. (M.khanif)